Sabtu, 08 Desember 2012

Sapi Shanzabeh, Singa dan Dimnah yang Ambisius (Bagian Keempat)

Sebelumnya telah dikisahkan tentang seekor sapi bernama Shanzabeh yang tersesat hingga tiba di suatu hutan yang subur. Di hutan yang dikuasai oleh singa itu hidup pula dua rubah bernama Kalilah dan Dimnah. Dimnah yang ambisius dibakar oleh rasa iri yang sangat ketika mengetahui bahwa singa menjadikan Shanzabeh yang dibawanya ke istana sebagai penasehat khususnya. Akhirnya Dimnah memutuskan untuk menyingkirkan Shanzabeh dengan tipuan liciknya. Ia menebar fitnah kebencian di antara singa dan Shanzabeh. Dari satu sisi,ia mengatakan kepada singa bahwa Shanzabeh hendak memberontak dan membunuh raja sementara kepada Shanzabeh ia memberitahunya bahwa singa ingin menyantap daging sapi itu. Setelah menjalankan rencananya, Dimnah pergi menemui sahabatnya, Kalilah. Kalilah bertanya, "Kemana saja kau dua hari ini?" Dimnah tersenyum menang. "Aku berhasil melaksanakan apa yang kuinginkan. Hari ini adalah hari yang kucita-citakan. Mungkin saja sekarang ini sapi itu sudah dibunuh oleh singa." Mendengar penuturan sahabatnya, Kalilah terkejut. Dimnah menceritakan kepada sahabatnya itu apa yang baru saja ia lakukan. Kalilah yang menyadari bahwa nyawa seekor hewan yang tak bersalah berada dalam bahaya, segera berlari kencang menuju istana. Ia ingin menyelamatkan Shanzabeh. Ia berlari sementara Dimnah mengikutinya dari belakang. Lalu apa yang terjadi di istana? Shanzabeh yang yang sebenarnya mencemaskan keselamatannya terpaksa datang menemui singa. Ia ingin menanyakan apa yang membuat singa tiba-tiba memusuhinya. Walaupun ia menerima kata-kata Dimnah, tapi ia tetap tak bisa percaya begitu saja dan alangkah baiknya jika mendengar langsung dari singa. Dari jauh ia sudah melihat Singa duduk tegap dengan membusungkan dada. Beberapa kali nampak sang raja mengibaskan ekornya karena marah. Shanzabeh dalam hati berkata, "Benar kata Dimnah. Tanda-tandanya persis yang ia katakan. Kalau begitu aku harus siaga dan bersiap-siap untuk bertarung." Shanzabeh mulai mengatur langkah dan geraknya sambil menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Melihat gerakan Shanzabeh, singa berkata dalam hatinya, "Ini tanda yang dikatakan oleh Dimnah. Tak akan kuberi kesempatan ia untuk melaksanakan niat jahatnya." Dengan secepat kilat, singa menerkam Shanzabeh. Ia meraih lehernya dan membantingnya ke tanah. Shanzabeh berusaha untuk melepaskan diri dari gigitan singa di lehernya dengan meronta sekuat-kuatnya. Tapi tenaga singa lebih kuat. Lambat laun gerakannya semakin mengendur dan nampak darah segar membasahi lantai istana. Shanzabeh tewas terkapar. Saat Kalilah dan Dimnah tiba di istana, pertarungan singkat itu sudah berakhir. Singa berdiri di sisi tubuh tak bernyawa itu. Mendadak ia menyesali apa yang telah diperbuatnya. Melihat pemandangan itu, Kalilah memandang tajam ke arah Dimnah dan dengan suara penuh kesedihan ia berkata, "Lihat akibatnya! Sapi yang tak berdosa itu tewas karena kerakusanmu." Dengan enteng Dimnah menjawab, "Biarkan. Ia musuhku. Ia yang menghalangiku meraih impian. Itulah balasannya. Harusnya kau ikut senang sebab hari ini adalah hari kemenanganku." Kalilah hanya bisa membisu. Dimnah melirik singa yang nampak tenang namun seperti dihinggapi penyesalan yang dalam. Dimnahmerasa ada yang tak beres. Ia takut jika singa mengetahui bahwa semua ini adalah fitnah yang sengaja ia tebar. Ia mendekati singa dan berkata, "Syukurlah, akhirnya musuh raja kita telah memperoleh balasannya. Aku gembira sekali. Tapi engkau nampak kurang senang. Ada apa?" Sang raja dengan suara parau menjawab, "Aku sangat menyesal. Aku merindukan Shanzabeh. Andaisaja sebelum menerkamnya aku memberinya kesempatan untuk berbicara. Dimnah mendekat dan menghibur, "Tuanku! Jangan siksa diri sendiri dengan pikiran seperti itu. Ia bersalah dan harus dibunuh. Kalau kau tidak melakukannya, ia yang akan lebih dahulu menjalankan makarnya. Jika itu terjadi, kaulah yang akan terbunuh." Singa nampak agak tenang mendengar kata-kata itu. Meski demikian, Dimnah takut berbicara lebih banyak yang mungkin bisa membuat raja marah kepadanya. Ia memutuskan untuk pergi meninggalkan istana. Malam itu, suasana sangat tenang. Harimau, guru pribadi raja, sedang berjalan menuju rumahnya. Sesampainya di dekat rumah Kalilah dan Dimnah, ia mendengar percakapan keduanya yang sangat mengusik rasa penasarannya. "Kasihan Shanzabeh yang harus mati mengenaskan tanpa salah. Kau memang benar-benar layak dicela." Harimau mengenal benar suara itu. Itu suara Kalilah. Ia semakin penasaran sebab topik pembicaraan mereka berdua berhubungan dengan Shanzabeh. Meski tahu bahwa apa yang dilakukannya tidak baik, tapi ia merasa harus melakukannya. Ia harus mendengarkan perbincangan ini. Suara Kalilah terdengar lagi. Kalilah tetap dengan pendiriannya, katanya, "Bagiku, apa yang kau lakukan sangat kejam. Dengan cara tebar fitnah kau ubah persahabatan menjadi permusuhan. Dan sekarang sapi itu terbunuh tanpa dosa. Sementara, raja tenggelam dalam penyesalannya. Tapi apa yang hendak dikata. Nasi sudah menjadi menjadi bubur. Penyesalan tak ada gunanya lagi. Shanzabeh sudah mati. Kalau singa tahu apa yang sebenarnya terjadi, maka celakalah kau." Kini harimau tahu bahwa semua ini adalah salah Dimnah. Dimnah yang merencanakan pembunuhan Shanzabeh. Harimau semakin mendekatkan telinganya untuk mendengar lebih jelas. Mendadak sekelebat bayang-bayang terlihat mendekat ke arah jendela. Harimau segera menghindar. Jangan sampai ada yang melihatnya. Terdengar suara Dimnah. "Inilah aku, Dimnah. Ha..ha..ha Tak kan kubiarkan singa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Aku heran, betapa lugunya kau, sahabatku! Tenanglah. Beberapa hari lagi, singa akan melupakan masalah ini dan rasa penyesalannya akan segera sirna. Saat itulah aku bisa menggantikan posisi Shanzabeh menjadi penasehat khususnya." Bagi harimau semuanyan sudah sangat jelas, bahwa Shanzabeh tidak bersalah. Sapi itu sama sekali tak pernah berpikir buruk terhadap raja. Harimau tak tahu apa yang mesti ia perbuat. Akhirnya ia teringat akan ibu raja yang baru saja kembali dari bepergian. Sang ibu sangat sedih mendengar kematian Shanzabeh. "Lebih baik aku menceritakan semua ini kepada ibu raja," kata harimau dalam hati. Esok harinya, harimau pergi mendatangi ibu singa dan menceritakan kepadanya apa yang didengarnya semalam. Ibu raja sangat marah dan sedih mendengar penuturan harimau. Ia marah karena kelicikan dan tipu muslihat Dimnah, dan sedih karena kematian Shanzabeh yang tak berdosa. Ia memutuskan untuk berbicara dengan anaknya. Tapi sebelum itu, harimau meminta sang ibu untuk tidak menyebutkan namanya di depan raja. Sang ibu setuju. Ibu singa segera pergi ke istana. Dilihatnya raja sedang duduk sendiri dalam kesedihan. Iapun bertanya, "Anakku! Ada apa denganmu? Kenapa kau tampak sangat sedih?" Singa menjawab, "Bagaimana aku tak bersedih. Aku bahkan tak memberi Shanzabeh kesempatan barang sejenak untuk berbicara. Padahal mungkin ia datang untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Aaaah… Betapa bodohnya aku! Aku bahkan tak tahu apakah ia bersalah atau tidak. Semua terjadi karena kesalahanku yang dengan mudah mempercayai semua omongan Dimnah." Ibu singa maju mendekat dan mengelus kepala anaknya sambil berkata, "Tenanglah. Jika hatimu tidak sakit setelah membunuh Shanzabeh berarti ia memang benar-benar bersalah. Tapi kau merasa menyesal dan ini tandanya bahwa Shanzabeh tidak bersalah." Si raja hutan memandang ibunya. Ingin rasanya ia meletakkan kepalanya di pangkuan sang ibu seperti masa kecilnya dulu. Ia ingin dibelai. Singa merasa bahwa saat ini ialah singa paling sengsara di dunia. Ingin rasanya ia menangis, tapi tak mampu ia lakukan itu di depan ibunya. Setelah menghela nafas panjang ia berkata, "Aku masih tak percaya bahwa Shanzabeh berniat jahat. Semakin waktu berjalan aku semakin ragu bahwa ia berniat jahat terhadapku. Jika memperhatikan perlakuan dan kata-katanya selama ini, nampak jelas betapa ia sangat polos dan berhati bersih. Jika membayangkan itu, aku semakin membenci diriku sendiri. Tak ingin aku bertemu dengan siapapun juga." Sang ibu mengenal betul tabiat anaknya dan yakin bahwa ia sangat menyesali apa yang terjadi. Ia menimpali, "Aku datang kemari untuk membicarakan satu hal denganmu."(IRIB Indonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar