Sabtu, 08 Desember 2012

Sapi Shanzabeh, Singa dan Dimnah yang Ambisius (Bagian Kelima, Habis)

Sebelumnya telah dikisahkan seekor sapi bernama Shanzabeh yang tersesat hingga tiba di suatu hutan yang subur. Ia berkenalan dengan singa, raja hutan, lewat rubah yang bernama Dimnah. Dimnah yang ambisius dibakar oleh rasa iri yang sangat ketika mengetahui bahwa singa menjadikan Shanzabeh sebagai penasehat khususnya. Akhirnya Dimnah memutuskan untuk menyingkirkan Shanzabeh dengan tipuan liciknya. Ia menebar fitnah kebencian di antara singa dan Shanzabeh. Shanzabeh pun mati di tangan singa. Suatu malam, harimau, guru khusus raja, sedang berjalan menuju rumahnya. Di dekat rumah Kalilah dan Dimnah, ia mendengar percakapan kedua rubah itu tentang Shanzabeh yang mati tanpa salah. Kini harimau tahu bahwa semua ini adalah salah Dimnah. Dimnahlah yang merencanakan pembunuhan atas diri Shanzabeh. Harimau menceritakan apa yang didengarnya kepada ibu raja. Ibu singa segera pergi ke istana. Dilihatnya sang raja sedang duduk sendiri dalam kesedihan. Setelah sedikit menghibur anaknya yang tampak sangat sedih, sang ibu berkata, "Aku datang kemari untuk membicarakan satu hal denganmu. Ada seseorang yang sangat terpercaya datang kepadaku dan menyampaikan berita yang sangat penting ini. Ia mengatakan bahwa Shanzabeh tidak bersalah." Singa mendengar dengan seksama apa yang diceritakan oleh ibunya. Mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, singa semakin menyesali perbuatannya. Dengan amarah memuncak ia berkata, "Gampang sekali aku membunuh Dimnah. Aku tinggal memerintahkan beberapa prajurit untuk membunuhnya. Tapi aku tidak mau tergesa-gesa membuat keputusan. Dimnah harus diadili." Singa memerintahkan beberapa pengawal istana untuk memanggil Dimnah dan membawanya menghadap raja. Tak lama kemuian mereka sudah tiba di istana. Dimnah mengira bahwa raja akan memberinya kedudukan sebagai penasehat khusus. Tapi alangkah terkejutnya ia ketika mengetahui bahwa raja sedang marah besar. Dalam hati ia bertanya-tanya, mungkinkah singa mengetahui hakikat apa yang terjadi? Tapi dari siapa, dan siapa yang membocorkan rahasia ini? Ia memutar otak tapi tak ada jawaban yang ia dapatkan. Dimnah semakin cemas ketika menyaksikan semua penasehat raja ada di ruang utama istana. Untuk mengusir kepanikannya, Dimnah mengucapkan salam, "Salam sejahtera untuk Singa, Raja Hutan." Ibu raja menghardiknya, "Tak perlu kau menjilat. Raja sudah mengetahui apa yang kau lakukan, hai binatang licik!" Dimnah yang mulai dicekam rasa takut, mendekati singa dan berkata, "Tuanku, ada masalah apa? Kesalahan apa yang sudah kulakukan?" Kembali ibu singa menyela, "Semua sudah tahu bahwa Shanzabeh tak berdosa. Apa yang kau sampaikan kepada raja tentang sapi itu hanya bohong belaka, dan itu karena kau dengki kepadanya. Kau sudah berbuat licik untuk menyingkirkan Shanzabeh." Singa hanya duduk terdiam sambil mengibaskan ekor berulang-ulang karena amarahnya yang memuncak. Sejenak kemuian ia memerintahkan anak buahnya untuk menjebloskan Dimnah ke penjara. "Kurung ia sampai pengkhianatannya terbukti," perintah raja. Dimnah kembali berusaha membujuk dan mengelabuhi singa. Ia berkata, "Tuanku, aku sama sekali tidak bersalah. Semua yang dikatakan tentang diriku tidak benar. Tapi baiklah. Aku sangat senang jika dilakukan penyelidikan atas kasus ini." Ia sengaja mengumbar kata-kata itu untuk mengelabuhi raja dan mereka yang hadir. Tapi ibu raja menyeringai dan memotong kata-kata rubah yang licik itu. Kata ibu raja kepada anaknya, "Jika hari ini kau lepaskan Dimnah yang sudah melakukan kejahatan, besok akan ada lagi yang berani melakukan kesalahan dan pengkhianatan, karena merasa mudah mendapatkan ampunan darimu." Singa mengulang perintahnya untuk segera menyeret Dimnah ke penjara. Setelah Dimnah dibawa keluar ruangan istana, ibu raja berkata, "Aku sering mendengar berita tentang kelicikan Dimnah. Tapi sekarang yakin bahwa apa yang selama ini kudengar memang benar. Andaisaja aku ada saat itu tentu tak akan kubiarkan peristiwa ini terjadi. Dimnah harus secepatnya mendapat balasan." Raja mengangguk membenarkan kata-kata ibunya. Tapi ia tetap pada keputusannya untuk memproses kasus ini lewat pengadilan. Berita masuknya Dimnah ke penjara didengar oleh Kalilah sahabatnya. Ia sedih atas apa yang terjadi. Kalilah menemui Dimnah di penjara. Melihat keadaan sahabatnya di penjara, Kalilah tak mampu menahan diri. Ia menangis. Katanya, "Aku sudah berulang kali menasehatimu. Tapi kau tak pernah mau mendengarnya. Padahal jika kau mau mendengarnya, Shanzabeh tak akan terbunuh dan kaupun tidak berada di tempat ini." Dimnah dengan suara yang parau menjawab, "Kau memang selalu benar. Mataku sudah dibutakan oleh kedengkian dan ambisi untuk memperoleh kedudukan terhormat di sisi raja. Sudahlah. Jangan bersedih aku memang harus menanggung akibat perbuatanku." Kalilah berkata lagi, "Kalau kau mau, aku bisa mendatangi singa dan memintakan ampunan untukmu. Setidaknya kau mengaku. Itu lebih baik, dan mungkin raja akan meringankan hukumanmu." Percakapan kedua sahabat itu didengar oleh seekor binatang lain yang ada di sel sebelah. Esok harinya, pengadilan atas diri Dimnah resmi digelar. Hakim mengumpulkan seluruh penghuni hutan dan meminta siapa saja yang mengetahui kisah sebenarnya untuk memberi kesaksian. Tak ada satupun yang bangkit menjawab pertanyaan hakim. Tak ada yang mengaku mengetahui masalah yang sebenarnya. Kalilah yang juga hadir dalam persidangan memilih berdiam diri. Ia bingung harus berbuat apa. Dari satu sisi ada yang terbunuh tanpa salah dan di sisi lain, yang menjadi terdakwa adalah Dimnah, sahabatnya sejak kecil. Tak mungkin ia memberi kesaksian yang memberatkan sahabatnya. Melihat suasana seperti itu, Dimnah seperti mendapat angin dan berkata, "Tuan hakim! Jika aku bersalah, diamnya semua yang hadir ini pasti membuatku senang. Tapi karena aku tidak bersalah maka aku yakin bahwa semua itu akan terbukti." Hari itu, pengadilan ditutup tanpa keputusan. Dimnah kembali dibawa ke penjara. Keesokan harinya, Ruzbeh, salah seorang sahabat Dimnah datang menemuinya di penjara untuk menyampaikan berita kematian Kalilah. Kalilah mati karena tak tahan dengan kesedihannya. Dimnah seperti disambar petir. Ia kehilangan sahabat yang paling dekat. Ia menyesali karena tak mau mendengarkan nasehat sang sahabat. Dalam hati ia berkata, "Kalilah pasti mati karena sedih menyaksikan keberadaanku di penjara. Sementara ia juga sedih karena melihat kematian Shanzabeh yang tak berdosa." Hari itu, Hakim kembali mengumpulkan semua penghuni hutan. Pertanyaan kemarin diulanginya lagi. Hening. Tak ada yang menyatakan mengetahui akan masalah yang terjadi. Kepada Dimnah hakim berkata, "Memang tak ada yang mengetahui masalah yang sebenarnya terjadi. Tapi ketahuilah bahwa semua yang hadir dalam hati mereka bersaksi bahwa Shanzabeh tidak bersalah. Mereka semua yakin bahwa ia terbunuh karena fitnah dan kelicikanmu. Bagaimana kau bisa hidup di tengah masyarakat yang kesemuanya memandang dirimu sebagai binatang yang licik dan jahat? Lebih baik kau mengaku karena masih ada kesempatan. Mungkin aku akan meringankan hukumanmu." Dimnah teringat akan kata-kata terakhir Kalilah yang memintanya untuk mengaku, sejenak ia ingin melaksanakan nasehat terakhir sahabatnya. Tapi mendadak ia berubah pikiran. Dalam hati ia berkata, "Sekarang Kalilah sudah mati. Jadi tak ada yang tahu rahasia ini." Kepada hakim Dimnah berkata, "Tuan hakim, aku tidak bersalah." Tak ada jalan bagi hakim kecuali memutuskan bahwa Dimnah tidak bersalah. Ia menulis laporan sidang kepada raja dan meminta raja untuk membuat keputusan terakhir. Laporan hakim dibaca oleh ibu singa. Ia marah besar. Melihat kemarahan ibunya, singa berkata kepadanya, "Ibu. Aku tak bisa membuat keputusan yang tidak adil, tak ada yang bersaksi akan kesalahan Dimnah. Karena itu, kumohon katakan kepadaku siapa yang memberitahumu akan kelicikan Dimnah, supaya aku bisa membuat keputusan yang adil." Sang ibu berpikir sejenak dan menjawab, "Baiklah. Aku akan berbicara dulu dengan yang memberitahuku." Sang ibu mendatangi harimau dan menceritakan apa yang terjadi seraya memintanya untuk bersaksi. Harimau akhirnya setuju. Ia segera menemui raja dan menceritakan apa yang didengarnya malam itu di rumah Kalilah dan Dimnah. Ketika berita kesaksian harimau tersebar, seekor hewan yang berada di sel sebelah Dimnah memanggil penjaga penjara. Katanya, "Sampaikan kepada raja bahwa aku juga akan bersaksi." Tahanan itu dibawa menghadap raja. Setelah mendengar penuturan tahanan itu, raja bertanya kepadanya, "Mengapa baru sekarang kau mau bersaksi." Ia menjawab, "Kukira hanya aku yang tahu. Kesaksian satu orang tidak ada gunanya. Setelah mengetahui bahwa harimau bersaksi maka akupun memberanikan diri." Akhirnya, singa membuat keputusan bulat. Ia memerintahkan penjaga penjara untuk tidak memberi Dimnah makanan dan minuman. Rubah licik itu akhirnya mati kelaparan dan kehausan di dalam penjara dan mendapatkan balasan atas kejahatannya.(IRIB Indonesia)

Sapi Shanzabeh, Singa dan Dimnah yang Ambisius (Bagian Keempat)

Sebelumnya telah dikisahkan tentang seekor sapi bernama Shanzabeh yang tersesat hingga tiba di suatu hutan yang subur. Di hutan yang dikuasai oleh singa itu hidup pula dua rubah bernama Kalilah dan Dimnah. Dimnah yang ambisius dibakar oleh rasa iri yang sangat ketika mengetahui bahwa singa menjadikan Shanzabeh yang dibawanya ke istana sebagai penasehat khususnya. Akhirnya Dimnah memutuskan untuk menyingkirkan Shanzabeh dengan tipuan liciknya. Ia menebar fitnah kebencian di antara singa dan Shanzabeh. Dari satu sisi,ia mengatakan kepada singa bahwa Shanzabeh hendak memberontak dan membunuh raja sementara kepada Shanzabeh ia memberitahunya bahwa singa ingin menyantap daging sapi itu. Setelah menjalankan rencananya, Dimnah pergi menemui sahabatnya, Kalilah. Kalilah bertanya, "Kemana saja kau dua hari ini?" Dimnah tersenyum menang. "Aku berhasil melaksanakan apa yang kuinginkan. Hari ini adalah hari yang kucita-citakan. Mungkin saja sekarang ini sapi itu sudah dibunuh oleh singa." Mendengar penuturan sahabatnya, Kalilah terkejut. Dimnah menceritakan kepada sahabatnya itu apa yang baru saja ia lakukan. Kalilah yang menyadari bahwa nyawa seekor hewan yang tak bersalah berada dalam bahaya, segera berlari kencang menuju istana. Ia ingin menyelamatkan Shanzabeh. Ia berlari sementara Dimnah mengikutinya dari belakang. Lalu apa yang terjadi di istana? Shanzabeh yang yang sebenarnya mencemaskan keselamatannya terpaksa datang menemui singa. Ia ingin menanyakan apa yang membuat singa tiba-tiba memusuhinya. Walaupun ia menerima kata-kata Dimnah, tapi ia tetap tak bisa percaya begitu saja dan alangkah baiknya jika mendengar langsung dari singa. Dari jauh ia sudah melihat Singa duduk tegap dengan membusungkan dada. Beberapa kali nampak sang raja mengibaskan ekornya karena marah. Shanzabeh dalam hati berkata, "Benar kata Dimnah. Tanda-tandanya persis yang ia katakan. Kalau begitu aku harus siaga dan bersiap-siap untuk bertarung." Shanzabeh mulai mengatur langkah dan geraknya sambil menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Melihat gerakan Shanzabeh, singa berkata dalam hatinya, "Ini tanda yang dikatakan oleh Dimnah. Tak akan kuberi kesempatan ia untuk melaksanakan niat jahatnya." Dengan secepat kilat, singa menerkam Shanzabeh. Ia meraih lehernya dan membantingnya ke tanah. Shanzabeh berusaha untuk melepaskan diri dari gigitan singa di lehernya dengan meronta sekuat-kuatnya. Tapi tenaga singa lebih kuat. Lambat laun gerakannya semakin mengendur dan nampak darah segar membasahi lantai istana. Shanzabeh tewas terkapar. Saat Kalilah dan Dimnah tiba di istana, pertarungan singkat itu sudah berakhir. Singa berdiri di sisi tubuh tak bernyawa itu. Mendadak ia menyesali apa yang telah diperbuatnya. Melihat pemandangan itu, Kalilah memandang tajam ke arah Dimnah dan dengan suara penuh kesedihan ia berkata, "Lihat akibatnya! Sapi yang tak berdosa itu tewas karena kerakusanmu." Dengan enteng Dimnah menjawab, "Biarkan. Ia musuhku. Ia yang menghalangiku meraih impian. Itulah balasannya. Harusnya kau ikut senang sebab hari ini adalah hari kemenanganku." Kalilah hanya bisa membisu. Dimnah melirik singa yang nampak tenang namun seperti dihinggapi penyesalan yang dalam. Dimnahmerasa ada yang tak beres. Ia takut jika singa mengetahui bahwa semua ini adalah fitnah yang sengaja ia tebar. Ia mendekati singa dan berkata, "Syukurlah, akhirnya musuh raja kita telah memperoleh balasannya. Aku gembira sekali. Tapi engkau nampak kurang senang. Ada apa?" Sang raja dengan suara parau menjawab, "Aku sangat menyesal. Aku merindukan Shanzabeh. Andaisaja sebelum menerkamnya aku memberinya kesempatan untuk berbicara. Dimnah mendekat dan menghibur, "Tuanku! Jangan siksa diri sendiri dengan pikiran seperti itu. Ia bersalah dan harus dibunuh. Kalau kau tidak melakukannya, ia yang akan lebih dahulu menjalankan makarnya. Jika itu terjadi, kaulah yang akan terbunuh." Singa nampak agak tenang mendengar kata-kata itu. Meski demikian, Dimnah takut berbicara lebih banyak yang mungkin bisa membuat raja marah kepadanya. Ia memutuskan untuk pergi meninggalkan istana. Malam itu, suasana sangat tenang. Harimau, guru pribadi raja, sedang berjalan menuju rumahnya. Sesampainya di dekat rumah Kalilah dan Dimnah, ia mendengar percakapan keduanya yang sangat mengusik rasa penasarannya. "Kasihan Shanzabeh yang harus mati mengenaskan tanpa salah. Kau memang benar-benar layak dicela." Harimau mengenal benar suara itu. Itu suara Kalilah. Ia semakin penasaran sebab topik pembicaraan mereka berdua berhubungan dengan Shanzabeh. Meski tahu bahwa apa yang dilakukannya tidak baik, tapi ia merasa harus melakukannya. Ia harus mendengarkan perbincangan ini. Suara Kalilah terdengar lagi. Kalilah tetap dengan pendiriannya, katanya, "Bagiku, apa yang kau lakukan sangat kejam. Dengan cara tebar fitnah kau ubah persahabatan menjadi permusuhan. Dan sekarang sapi itu terbunuh tanpa dosa. Sementara, raja tenggelam dalam penyesalannya. Tapi apa yang hendak dikata. Nasi sudah menjadi menjadi bubur. Penyesalan tak ada gunanya lagi. Shanzabeh sudah mati. Kalau singa tahu apa yang sebenarnya terjadi, maka celakalah kau." Kini harimau tahu bahwa semua ini adalah salah Dimnah. Dimnah yang merencanakan pembunuhan Shanzabeh. Harimau semakin mendekatkan telinganya untuk mendengar lebih jelas. Mendadak sekelebat bayang-bayang terlihat mendekat ke arah jendela. Harimau segera menghindar. Jangan sampai ada yang melihatnya. Terdengar suara Dimnah. "Inilah aku, Dimnah. Ha..ha..ha Tak kan kubiarkan singa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Aku heran, betapa lugunya kau, sahabatku! Tenanglah. Beberapa hari lagi, singa akan melupakan masalah ini dan rasa penyesalannya akan segera sirna. Saat itulah aku bisa menggantikan posisi Shanzabeh menjadi penasehat khususnya." Bagi harimau semuanyan sudah sangat jelas, bahwa Shanzabeh tidak bersalah. Sapi itu sama sekali tak pernah berpikir buruk terhadap raja. Harimau tak tahu apa yang mesti ia perbuat. Akhirnya ia teringat akan ibu raja yang baru saja kembali dari bepergian. Sang ibu sangat sedih mendengar kematian Shanzabeh. "Lebih baik aku menceritakan semua ini kepada ibu raja," kata harimau dalam hati. Esok harinya, harimau pergi mendatangi ibu singa dan menceritakan kepadanya apa yang didengarnya semalam. Ibu raja sangat marah dan sedih mendengar penuturan harimau. Ia marah karena kelicikan dan tipu muslihat Dimnah, dan sedih karena kematian Shanzabeh yang tak berdosa. Ia memutuskan untuk berbicara dengan anaknya. Tapi sebelum itu, harimau meminta sang ibu untuk tidak menyebutkan namanya di depan raja. Sang ibu setuju. Ibu singa segera pergi ke istana. Dilihatnya raja sedang duduk sendiri dalam kesedihan. Iapun bertanya, "Anakku! Ada apa denganmu? Kenapa kau tampak sangat sedih?" Singa menjawab, "Bagaimana aku tak bersedih. Aku bahkan tak memberi Shanzabeh kesempatan barang sejenak untuk berbicara. Padahal mungkin ia datang untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Aaaah… Betapa bodohnya aku! Aku bahkan tak tahu apakah ia bersalah atau tidak. Semua terjadi karena kesalahanku yang dengan mudah mempercayai semua omongan Dimnah." Ibu singa maju mendekat dan mengelus kepala anaknya sambil berkata, "Tenanglah. Jika hatimu tidak sakit setelah membunuh Shanzabeh berarti ia memang benar-benar bersalah. Tapi kau merasa menyesal dan ini tandanya bahwa Shanzabeh tidak bersalah." Si raja hutan memandang ibunya. Ingin rasanya ia meletakkan kepalanya di pangkuan sang ibu seperti masa kecilnya dulu. Ia ingin dibelai. Singa merasa bahwa saat ini ialah singa paling sengsara di dunia. Ingin rasanya ia menangis, tapi tak mampu ia lakukan itu di depan ibunya. Setelah menghela nafas panjang ia berkata, "Aku masih tak percaya bahwa Shanzabeh berniat jahat. Semakin waktu berjalan aku semakin ragu bahwa ia berniat jahat terhadapku. Jika memperhatikan perlakuan dan kata-katanya selama ini, nampak jelas betapa ia sangat polos dan berhati bersih. Jika membayangkan itu, aku semakin membenci diriku sendiri. Tak ingin aku bertemu dengan siapapun juga." Sang ibu mengenal betul tabiat anaknya dan yakin bahwa ia sangat menyesali apa yang terjadi. Ia menimpali, "Aku datang kemari untuk membicarakan satu hal denganmu."(IRIB Indonesia)

Sapi Shanzabeh, Singa dan Dimnah yang Ambisius (Bagian Ketiga)

Kisah tentang seekor sapi bernama Shanzabeh yang tersesat hingga tiba di suatu hutan yang subur. Di hutan yang dikuasai oleh singa itu hidup pula dua rubah bernama Kalilah dan Dimnah. Dimnah sangat cerdas dan ambisius. Untuk mewujudkan ambisinya menjadi penasehat raja ia membawa Shanzabeh menghadap singa. Singa sangat terkesan dengan pertemuan itu dan meminta Shanzabeh untuk tinggal di hutan ini dan di istananya. Hubungan keduanya sangat akrab, sampai singa mengangkat Shanzabeh sebagai penasehat khususnya. Apa yang terjadi justeru di luar dugaan Dimnah. Karena itu ia dibakar oleh rasa iri yang sangat hingga memutuskan untuk mencelakakan Shanzabeh. Kalilah, sahabat Dimnah berulang kali menasehatinya untuk menahan diri dan tidak terbawa oleh emosi kedengkian. Nasehatnya sia-sia. Suatu hari, Dimnah mendatangi istana raja hutan. Dilihatnya singa, sang raja sedang duduk sendiri. "Inilah waktunya," kata Dimnah dalam hati. Iapun datang mendekat. Melihat kedatangan Dimnah, singa tersenyum dan berkata, "Kemana saja kau? Mengapa jarang kemari? Ada berita apa?" Dimnah tersenyum dan berkata, "Ada satu kejadian yang tidak menyenangkan. Engkau tak akan senang mendengarnya dan akupun tidak berani mengatakannya." Singa bertanya-tanya. Ia menduga ada bahaya yang mungkin datang. Ia mengaum dan berkata lagi, "Katakan, ada apa?" Dimnah menjawab, "Sejak mendengar berita ini, aku tak bisa tenang. Tapi karena merasa sebagai abdimu, aku harus menyampaikannya kepadamu." Singa yang sudah penasaran mendesak Dimnah untuk segera mengatakannya. Dimnah sedikit menarik nafas dan berkata, "Aku mendengar ada konspirasi untuk mencelakakan dirimu, Tuan. Tapi aku hanya akan menyampaikannya jika keselamatanku dijamin." Raja menjawab, "Tenang saja. Keselamatanmu kujamin." Dimnah mulai bercerita, "Aku mendengar bahwa salah seorang penasehatmu yang terdekat, yaitu Shanzabeh, merencanakan makar terhadapmu. Bersama beberapa binatang lainnya, mereka hendak memberontak dan membunuhmu." Singa bertanya lagi, "Shanzabeh? Tidak mungkin. Tidak mungkin ia merencanakan konspirasi seperti itu terhadap diriku. Lagi pula dengan alasan apa dia ingin memberontak dan membunuhku? Selama ini aku selalu ramah dan menjamunya dengan baik. Akupun tidak pernah mengatakan sesuatu yang bisa menyinggung perasaannya." Dimnah mengangguk dan mengatakan, "Benar yang kau katakan. Tapi begitulah tabiat mereka yang tak mengenal budi. Setelah memperoleh pangkat mereka akan melupakan segalanya, bahkan lupa siapa diri mereka sebelumnya. Termasuk Shanzabeh. Andai saja engkau tidak memperlakukannya sedemikian ramah sehingga tak membuatnya berani membuat makar terhadapmu." Kata-kata Dimnah sedikit demi sedikit masuk ke hati singa. Sang raja bertanya, "Apa yang harus kulakukan?" Kata-kata itulah yang dinantikannya. Sambil melirik kanan dan kiri untuk meyakinkan bahwa tak ada yang mendengar percakapan mereka, Dimnah berkata, "Tuanku! Gigi yang rusak harus dicabut. Musuh yang dikhawatirkan bisa berbahaya dan berkhianat harus disingkirkan." Singa berpikir sejenak dan berkata, "Lebih baik kukirim seseorang untuk menemuinya dan menyampaikan kepadanya bahwa raja sudah mendengar rencana makar itu dan memintanya untuk segera meninggalkan hutan ini." Dimnah terdiam sesaat. Dalam hati ia berkata, "Jika singa mengirimkan orang untuk menemui Sanzabeh, maka ia akan tahu bahwa ini hanya berita bohong. Itu berarti, mimpi menjadi penasehat raja tak akan pernah terwujud. Bahkan kemungkinan aku yang bakal diusir dari hutan ini. Jangan. Jangan sampai terjadi." Dimnah angkat suara, "Tidak seharusnya engkau mengirimkan utusan untuk menemui Shanzabeh. Ia tidak tahu bahwa berita tentang konspirasinya sudah sampai ke telingamu. Kalau ia tahu, kemungkinan ia akan melakukan tindakan lebih cepat atau ia akan meninggalkan hutan ini diam-diam. Jika itu terjadi, penduduk hutan ini akan curiga, ada apa dengan penasehat raja yang tiba-tiba meninggalkan hutan ini. Sementara, mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tindakan terbaik adalah membiarkan masyarakat tahu akan niat jahatnya. Jika ia datang, kau harus waspada, jangan sampai ia melaksanakan rencana jahatnya." Singa mengernyitkan dahi dan bertanya, "Berarti Shanzabeh benar-benar ingin melaksanakan niatnya?" Dimnah berkata lagi, "Yang kudengar, ketika berada di sisimu ia akan menoleh ke kanan dan ke kiri. Ini adalah tanda yang ia berikan kepada rekan-rekannya sesama pemberontak untuk melaksanakan rencana mereka. Jika ia melakukan itu, maka saatnya bagimu untuk membungkamnya." Kata-kata Dimnah didengar dengan seksama oleh raja hutan. Dimnah yang berhasil menanamkan kebencian di hati singa mohon diri untuk meninggalkan istana. Dalam hati ia menertawakan kebodohan singa yang dengan mudahnya dipedaya oleh kata-katanya. Ia kini mencari Shanzabeh untuk melaksanakan tahap kedua dari fitnah yang ia tebar. Shanzabeh senang sekali berjumpa dengan Dimnah. Dimnah menunjukkan wajah sedih di depan sang sapi. Shanzabeh bertanya, "Ada apa denganmu, sahabatku? Wajahmu murung." Dimnah menjawab, "Hatiku sedih." Shanzabeh bertanya lagi, "Apa yang bisa kulakukan untukmu?" Dimnah menjawab, "Sulit aku menceritakannya. Tapi apa boleh buat. Kau harus mendengarnya. Beberapa saat yang lalu aku bertemu dengan tuan raja. Ia sepertinya ingin membunuhmu. Singa mengatakan bahwa ia sudah cukup menjamumu dan tubuhmu juga sudah semakin gemuk. Kini waktunya untuk membunuhmu dan menyantap dagingmu yang lezat. Aku mengatakan kepada singa, bahwa sebagai raja ia tidak boleh berbuat seperti itu. Tapi singa mengatakan bahwa setiap kali duduk di dekatmu ia terbayang-bayang akan nikmatnya daging sapi. Sekarang dia sudah tidak bisa lagi menahan diri. Nasehatku tidak ia dengar. Aku sedih dan sekarang datang menemuimu untuk menasehatimu supaya berhati-hati." Shanzabeh terkejut mendengar cerita Dimnah. Ia berkata, "Aku tidak bisa percaya begitu saja dengan kata-katamu. Sulit dipercaya bahwa singa ingin membunuhku. Ia begitu akrab denganku." Dimnah menyela, "Benar. Sulit dipercaya. Tapi ini fakta. Ragukah kau dengan kesetiaanku sebagai sahabatmu?" Shanzabeh tenggelam dalam pikirannya. Ia menduga bahwa Dimnah berkata jujur. Katanya, "Tenanglah sahabat. Aku percaya dengan kesetiaan dan kejujuranmu. Aku hanya terkejut mendengarnya. Tapi, walau bagaimanapun aku mesti menemui singa dan berbicara dengannya." Dimnah senang sebab Shanzabeh sudah masuk dalam jebakannya. Ia berkata, "Memang lari tidak ada gunanya. Lebih baik kau menemui singa supaya tak ada yang berpikiran buruk terhadap dirimu. Hanya saja ikuti kata-kataku. Di istana, kau harus berhati-hati. Sebab mungkin saja singa akan menyerangmu." Dimnah melanjutkan, "Ketika singa hendak menyantap korbannya ia akan duduk tegap dan berulang kali menggerak-gerakkan ekornya. Jika ia melakukan itu berarti ia memang hendak menyantapmu." Shanzabeh berterima kasih kepada Dimnah atas nasehatnya. Dimnah berpamitan dengan Shanzabeh dan merasa bahwa apa yang direncanakan sudah berhasil. Kini ia hanya menunggu hasilnya.(IRIB Indonesia)

Sapi Shanzabeh, Singa dan Dimnah yang Ambisius (Bagian Kedua)

Sebelumnya telah dikisahkan tentang seekor sapi bernama Shanzabeh yang terpisah dari kafilah. Sapi itu kini berada di sebuah padang rumput yang hijau dengan mata airnya yang jernih. Shanzabeh yang merasa hidup di surga tak mampu menyembunyikan kegembiraannya. Ia berteriak sekuat-kuatnya untuk meluapkan kesenangan hatinya. Suara sapi itu didengar oleh singa yang menguasai hutan dekat padang rumput tersebut. Singa yang tak pernah mendengar suara sapi sekeras itu terkejut. Hatinya berdetak kencang. Rasa takut menggerogoti dirinya. Karena takut, selama beberapa hari, singa tak mau keluar dari istananya. Dimnah, sang rubah cerdas melihat ada sesuatu yang membuat singa tak keluar dari istana seperti biasanya. Karena itu ia memberanikan diri menemui singa untuk menanyakan apa yang membuatnya tidak keluar istana akhir-akhir ini. Akhirnya ia memahami bahwa singa takut mendengar lenguhan keras suara sapi. Setelah menimbang-nimbang untung dan ruginya, Dimnah memberanikan diri dan berkata, "Tuanku! Bukankah suara ini yang membuatmu gelisah?" Singa yang menyadari tak ada cara lain selain mengakuinya, menganggukkan kepala dan mengiyakan kata-kata Dimnah. Dimnah melanjutkan kata-katanya, "Tuanku! Jika diizinkan aku akan menyelidiki suara apa itu." Singa dalam hati tak ingin rahasia hatinya terungkap. Tapi tak ada pilihan selain mengizinkan Dimnah melakukan apa yang ia katakan. Dimnah dengan serta merta keluar dari istana. Ia mulai berkeliling mencari apa yang aneh di hutan itu. Akhirnya ia bertemu dengan seekor hewan yang tak pernah ia jumpai di sekitar itu. "Pasti suara itu datang dari hewan ini," katanya dalam hati. Tanpa dilihat oleh Shanzabeh, Dimnah kembali menemui singa di istana. Saat itu, singa sedang berpikir sendiri. Ia sebenarnya menyesali apa yang ia lakukan karena khawatir Dimnah akan membuka rahasia ketakutannya di depan umum. Melihat Dimnah datang menemuinya, Singa bertanya, "Bagaimana? Tahukah kau dari mana datangnya suara itu?" Dimnah yang menikmati ketakutan singa dan merasa berada di atas angin, mengangguk. Ia berkata, "Iya, aku sudah melihatnya. Ia adalah hewan pemakan rumput dan bertubuh besar. Tapi nampaknya ia bukan binatang yang berbahaya. Kalau tuanku mengizinkan, aku akan membawanya menemuimu di sini." Singa tenggelam dalam pikiran. Dari satu sisi, ia merasa tenang dengan kata-kata Dimnah tapi di sisi lain, usulan untuk mendatangkan binatang asing itu ke istana membuatnya kebingungan. Apa yang hendak ia lakukan terhadap pendatang asing itu? Menjamu atau membunuhnya. Akhirnya ia bertanya kepada Dimnah, "Apa saranmu?" Pertanyaan raja hutan itu yang sebenarnya sangat dinanti-nantikan membuat hati Dimnah berbunga-bunga. Ia merasa sudah menjadi penasehat raja hanya dalam waktu yang singkat. "Biar kubawa ia kemari supaya engkau berkenalan dengannya. Dengan cara itu, rasa takutmu akan hilang,"ujar Dimnah. Singa setuju. Dimnah bagai terbang di atas awan karena senangnya. Ia segera keluar dari istana dan menemui Shanzabeh yang asyik memakan rumput. "Salam. Namaku Dimnah. Aku disuruh oleh singa untuk membawamu menghadapnya." Dengan acuh tak acuh dan sambil terus memakan rumput, Shanzabeh bertanya, "Siapa singa itu?" Dimnah menjawab, "Singa adalah raja hutan. Kami semua tunduk dan patuh kepadanya. Kau harus menemuinya." Shanzabeh berkata, "Aku mau menemui raja hutan jika keselamatanku dijamin." Bercakap-cakap dengannya, akhirnya Dimnah tahu bahwa lawan bicaranya adalah sapi yang bernama Shanzabeh. Setelah berjalan bersama, keduanya tiba di istana singa. Melihat Dimnah dengan tubuh yang kecil berjalan dengan tenang bersama hewan asing berbadan besar, singa berpikir bahwa ia harus menyembunyikan rasa takutnya. Raja hutan itu mengucapkan selamat datang kepada sang tamu lalu bertanya, "Dari mana kau datang dan apa yang kau lakukan di hutan ini?" Shanzabeh menceritakan apa yang ia alami sampai tiba di hutan itu. Keduanya terlibat percakapan yang hangat. Singa menawarkan kepada Shanzabeh untuk tinggal di istananya. Keduanya sudah sangat akrab. Singa bahkan mengangkat Shanzabeh menjadi penasehat khususnya karena ketajaman pemikiran dan kepandaiannya berbicara. Dalam banyak kasus, singa meminta pendapat dan nasehat dari sapi itu. Keakraban singa dan Shanzabeh apalagi kedudukan pendatang baru itu sebagai penasehat khusus raja, membuat Dimnah tidak senang hati. Lambat laun ia mulai dimakan oleh rasa iri dan kedengkian yang sangat. Dia tidak bisa memprotes keputusan singa tapi dari sisi lain ia tak bisa menerima kenyataan ini. Suatu hari Dimnah yang sudah dibakar kedengkian dan emosi memuncak mendatangi sahabatnya yang bernama Kalilah. Dimnah mengadukan apa yang terjadi dan berkata, "Aku sangat bodoh. Kedudukan sebagai penasehat raja yang semestinya menjadi hakku kuserahkan bulat-bulat kepada Shanzabeh. Andai saja hari itu aku tidak membawanya ke istana atau kusarankan singa untuk membunuhnya." Kalilah berusaha meredakan amarah sahabatnya dan berkata, "Ada apa? Mengapa kau marah-marah seperti ini?" Dimnah menjawab, "Coba banyangkan. Singa yang asalnya ketakutan terhadap Shanzabeh sekarang malah bersahabat dengannya dan itu berkat aku. Sekarang, sapi itu menjadi sahabat terdekat singa. Jika berada dalam posisiku, apakah kau akan senang dan bergembira? Atau kau akan memuji tuhan karena singa menjadikan Shanzabeh sebagai penasehatnya bukan aku? Apalagi singa sekarang tidak lagi peduli denganku." Kalilah menasehatinya untuk bersabar dan menahan emosi. Katanya, "Matamu sudah gelap karena dengki. Apa yang bisa kau lakukan? Tubuh Shanzabeh jauh lebih besar darimu dan dia juga lebih pandai. Sudahlah, jangan berpikir yang macam-macam." Dimnah tetap emosi dan menyahut, "Jangan lihat tubuhku yang kecil. Aku bisa menyingkirkannya. Shanzabeh sangat percaya kepadaku. Kepercayaan itulah yang bisa dimanfaatkan untuk menyingkirkannya." Kalilah terus berusaha menenangkan sahabatnya. "Sudahlah. Tidak ada untungnya. Setiap masalah akan lebih baik jika diselesaikan lewat cara-cara bersahabat, bukan dengan permusuhan." Dimnah dengan nada emosi berkata lagi, "Tidak bisa. Aku sedang marah besar. Jangan berbicara soal persahabatan." Kalilea kecewa mendengar ucapan sahabatnya. Dia hanya bisa pasrah. Dengan suara lirih ia berpesan, "Silakan lakukan apa saja yang kau mau. Tapi ingat, kau hanya akan merugi."(IRIB Indonesia)

Sapi Shanzabeh, Singa dan Dimnah yang Ambisius (Bagian Pertama)

Alkisah, hari itu hujan turun dengan derasnya. Kafilah yang sedang berlalu dengan susah payah melanjutkan perjalanannya. Di tengah kafilah itu nampak seekor sapi bernama Shanzabeh yang kelihatan sangat letih. Ia tak lagi mampu menggerakkan kaki. Pemilik karavan yang mengkhawatirkan barang-barang dagangannya mengambil keputusan pintas yaitu melepaskan sapi tersebut di tempat itu. Dia memanggil salah seorang pelayan dan memerintahkannya untuk menemani Shanzabeh melepas lelah. Dia berpesan kepadanya untuk menyusul setelah hujan reda dan Shanzabeh bisa berjalan lagi. Beberapa jam setelah itu, hujanpun reda. Tapi Shanzabeh masih belum bisa berjalan. Sementara, sang pelayan dicekik oleh rasa lapar dan dahaga. Dia juga mulai dicekam rasa takut menyaksikan mentari yang mulai tenggelam di ufuk Barat. Akhirnya, dia memutuskan untuk meninggalkan Shanzabeh di tempat itu. Ia menyusul kafilah yang sudah beristirahat di satu tempat. Pemilik kafilah yang melihat pelayannya datang tanpa Shanzabeh bertanya, "Dimana sapiku?" Pelayan itu menundukkan kepala seakan-akan tengah bersedih, dan menjawab, "Shanzabeh mati karena terlalu letih dan lapar. Aku terpaksa meninggalkannya." Jawaban itu membuat sedih pemilik kafilah. Setelah terdiam sejenak dia berkata, "Baiklah kalau begitu. Tak ada jalan lain." Di lain tempat, Shanzabeh yang merasa ajalnya sudah dekat berusaha bangkit. Dengan terseok-seok dia berjalan hingga sampai di sebuah padang yang dipenuhi rumput-rumput segar dan sebuah mata air yang jernih. Dengan hati yang berbunga-bunga dia segera melahap rumput-rumput yang ada di hadapannya. Setelah puas dia menuju mata air dan meminum airnya yang bening dan segar. Perlahan-perlahan ia kembali bugar. Beberapa hari berlalu. Shanzabeh yang merasa hidup di surga tak mampu menyembunyikan kegembiraannya. Ia berteriak sekuat-kuatnya untuk meluapkan kesenangan hatinya. Suara Shanzabeh didengar oleh singa yang menguasai hutan dekat padang rumput tersebut. Semua binatang di sana dari serigala hingga kelinci tunduk kepadanya. Singa yang tak pernah mendengar suara sapi sekeras itu terkejut. Hatinya berdetak kencang. Rasa takut mulai menggerogoti dirinya. Ia berlari masuk ke dalam istananya. Singa tak mau ada yang melihatnya ketakutan. Singa berkata dalam hati, "Hewan dengan suara seperti ini pasti punya tubuh yang besar dan kuat. Tapi aku tidak takut berhadapan dengannya." Namun, apapun yang dilakukannya, rasa takut itu tak mau pergi. Di hutan itu hidup pula dua rubah bernama Kalilah dan Dimnah. Dimnah yang lebih besar punya kecerdasan yang luar biasa. Ia sangat peka melihat keadaan sekitar. Tak heran jika ia cepat menangkap apa yang bakal terjadi. Sejak beberapa hari, ia tak melihat singa keluar dari istana untuk mengontrol keadaan di hutan itu. Hal itu memancing rasa curiga Dimnah. Dalam hati ia berkata, "Pasti ada sesuatu. Aku harus tahu apa yang terjadi" Iapun pergi menemui sahabatnya yang bernama Kalilah. Kepada sahabatnya itu dia bertanya, "Apakah engkau tidak menyadari sesuatu dalam beberapa hari ini?" Kalilah menjawab, "Apa yang kau maksudkan?" Dimnah menjelaskan, "Sejak beberapa hari lalu, singa tidak keluar dari istananya. Aku yakin ada masalah. Ah, aku penasaran ingin segera mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dengan singa." Kalilah yang faham akan tabiat sahabatnya itu berkata, "Kau ini ada-ada saja. Itu bukan urusanmu. Singa adalah raja hutan dan kita semua ini pelayannya. Jangan campuri urusan para pembesar jika tak ingin dapat masalah." Dimnah menatap mata Kalilah dengan tajam dan berkata, "Berpikirlah yang logis. Aku tidak puas jadi pelayan. Aku ingin mencapai kedudukan yang lebih tinggi. Misalnya, menjadi penasehat raja. Bukan terus menerus sebagai pelayan." Kalilah menertawakan sahabatnya dan berujar, "Bermimpi juga ada batasannya. Puaslah dengan apa yang kau dapat." Dimnah menjawab, "Tidak semudah itu. Aku harus pergi ke istana menemui singa dan berbicara langsung dengannya." Kalilah berusaha meyakinkan Dimnah untuk mengurungkan niatnya. Tapi usahanya sia-sia. "Baiklah kalau kau tak mau mendengar nasehatku. Sebagai sahabat, aku hanya menginginkan kebaikanmu." Dimnah segera meninggalkan rumah Kalilah dan pergi menemui singa. Dia sudah melatih diri dengan kata-kata yang akan disampaikan kepada sang raja. Setelah mendapat izin dari penjaga istana, ia menuju ke ruang utama. Matanya terkesima menyaksikan hiasan yang ada istana yang baru pertama kali ini ia kunjungi. Nampak di ruang utama sang raja sedang duduk bersama beberapa penasehatnya. Melihat Dimnah, Singa bertanya kepada harimau yang duduk di sampingnya. "Siapa itu?" Harimau yang memang mengenal Dimnah menjawab pertanyaan sang raja. Singa menganggukkan kepala dan berkata, "Aku kenal ayahnya." Dengan suaranya yang keras, singa memanggil Dimnah untuk menghadap. Dimnah menunduk hormat dan maju beberapa langkah ke depan. Sang raja berkata lagi, "Dimana saja kau selama ini dan apa kerjamu?" Dimnah menjawab, "Dimanapun aku berada aku selalu berada di bawah naunganmu. Sudah lama aku berharap bisa bertemu denganmu, dan hari ini aku memperoleh kesempatan ini. Aku siap mengabdi dan menjalankan tugas." Singa senang mendengar kata-kata Dimnah. "Kau adalah hewan yang cerdas. Kapanpun kau mau, kau bisa datang ke istana ini." Singa lalu meninggalkan Dimnah dan masuk ke dalam. Dimnah sendiri berpamitan dan pergi meninggalkan istana. Malam itu, Dimnah tak bisa memejamkan mata. Pikirannya melayang kemana-mana. Esok harinya, dia kembali pergi ke istana. Setelah berbasa-basi sejenak dengan penjaga, ia masuk ke dalam istana. Saat itu, Singa sedang duduk sendiri di ruang utama. "Kesempatan yang paling tepat," katanya dalam hati. Dimnah maju mendekat. Setelah mengucapkan salam hormat ia berkata, "Tuanku! Kemarin aku datang untuk menanyakan sesuatu kepadamu. Tapi kuurungkan niatku karena banyak hewan lain di sekelilingmu." Singa mengarahkan pandangannya kepada Dimnah dan bertanya, "Ada apa gerangan?" Dimnah menjawab, "Tak ada yang istimewa. Dan aku berharap tak ada peristiwa penting apapun yang terjadi. Aku sering melihat raja berjalan-jalan di luar istana. Tapi mengapa dalam beberapa hari ini raja tidak pergi keluar istana seperti biasanya? Jika diizinkan aku ingin tahu penyebabnya." Singa sebenarnya terkejut mendengar pertanyaan itu. Tapi ia berusaha menutupi keterkejutannya. Dalam hati ia berkata, "Benar-benar cerdas hewan ini. Hanya dia yang menyadari kegelisahanku." Singa membuka mulutnya dan berkata, "Tak ada yang khusus. Aku hanya merasa kurang sehat dan perlu istirahat." Mendadak Shanbazeh yang sedang berjalan-jalan di sekitar hutan itu melenguh dengan suara yang keras. Singa kembali dihantui rasa takut. Tapi ia berusaha menyembunyikan rasa takutnya. Terlambat. Dimnah cukup cerdas membaca suasana. Ia sekarang mengerti apa yang membuat raja tak keluar istana dalam beberapa hari ini.(IRIB Indonesia)