Sabtu, 08 Desember 2012

Sapi Shanzabeh, Singa dan Dimnah yang Ambisius (Bagian Kedua)

Sebelumnya telah dikisahkan tentang seekor sapi bernama Shanzabeh yang terpisah dari kafilah. Sapi itu kini berada di sebuah padang rumput yang hijau dengan mata airnya yang jernih. Shanzabeh yang merasa hidup di surga tak mampu menyembunyikan kegembiraannya. Ia berteriak sekuat-kuatnya untuk meluapkan kesenangan hatinya. Suara sapi itu didengar oleh singa yang menguasai hutan dekat padang rumput tersebut. Singa yang tak pernah mendengar suara sapi sekeras itu terkejut. Hatinya berdetak kencang. Rasa takut menggerogoti dirinya. Karena takut, selama beberapa hari, singa tak mau keluar dari istananya. Dimnah, sang rubah cerdas melihat ada sesuatu yang membuat singa tak keluar dari istana seperti biasanya. Karena itu ia memberanikan diri menemui singa untuk menanyakan apa yang membuatnya tidak keluar istana akhir-akhir ini. Akhirnya ia memahami bahwa singa takut mendengar lenguhan keras suara sapi. Setelah menimbang-nimbang untung dan ruginya, Dimnah memberanikan diri dan berkata, "Tuanku! Bukankah suara ini yang membuatmu gelisah?" Singa yang menyadari tak ada cara lain selain mengakuinya, menganggukkan kepala dan mengiyakan kata-kata Dimnah. Dimnah melanjutkan kata-katanya, "Tuanku! Jika diizinkan aku akan menyelidiki suara apa itu." Singa dalam hati tak ingin rahasia hatinya terungkap. Tapi tak ada pilihan selain mengizinkan Dimnah melakukan apa yang ia katakan. Dimnah dengan serta merta keluar dari istana. Ia mulai berkeliling mencari apa yang aneh di hutan itu. Akhirnya ia bertemu dengan seekor hewan yang tak pernah ia jumpai di sekitar itu. "Pasti suara itu datang dari hewan ini," katanya dalam hati. Tanpa dilihat oleh Shanzabeh, Dimnah kembali menemui singa di istana. Saat itu, singa sedang berpikir sendiri. Ia sebenarnya menyesali apa yang ia lakukan karena khawatir Dimnah akan membuka rahasia ketakutannya di depan umum. Melihat Dimnah datang menemuinya, Singa bertanya, "Bagaimana? Tahukah kau dari mana datangnya suara itu?" Dimnah yang menikmati ketakutan singa dan merasa berada di atas angin, mengangguk. Ia berkata, "Iya, aku sudah melihatnya. Ia adalah hewan pemakan rumput dan bertubuh besar. Tapi nampaknya ia bukan binatang yang berbahaya. Kalau tuanku mengizinkan, aku akan membawanya menemuimu di sini." Singa tenggelam dalam pikiran. Dari satu sisi, ia merasa tenang dengan kata-kata Dimnah tapi di sisi lain, usulan untuk mendatangkan binatang asing itu ke istana membuatnya kebingungan. Apa yang hendak ia lakukan terhadap pendatang asing itu? Menjamu atau membunuhnya. Akhirnya ia bertanya kepada Dimnah, "Apa saranmu?" Pertanyaan raja hutan itu yang sebenarnya sangat dinanti-nantikan membuat hati Dimnah berbunga-bunga. Ia merasa sudah menjadi penasehat raja hanya dalam waktu yang singkat. "Biar kubawa ia kemari supaya engkau berkenalan dengannya. Dengan cara itu, rasa takutmu akan hilang,"ujar Dimnah. Singa setuju. Dimnah bagai terbang di atas awan karena senangnya. Ia segera keluar dari istana dan menemui Shanzabeh yang asyik memakan rumput. "Salam. Namaku Dimnah. Aku disuruh oleh singa untuk membawamu menghadapnya." Dengan acuh tak acuh dan sambil terus memakan rumput, Shanzabeh bertanya, "Siapa singa itu?" Dimnah menjawab, "Singa adalah raja hutan. Kami semua tunduk dan patuh kepadanya. Kau harus menemuinya." Shanzabeh berkata, "Aku mau menemui raja hutan jika keselamatanku dijamin." Bercakap-cakap dengannya, akhirnya Dimnah tahu bahwa lawan bicaranya adalah sapi yang bernama Shanzabeh. Setelah berjalan bersama, keduanya tiba di istana singa. Melihat Dimnah dengan tubuh yang kecil berjalan dengan tenang bersama hewan asing berbadan besar, singa berpikir bahwa ia harus menyembunyikan rasa takutnya. Raja hutan itu mengucapkan selamat datang kepada sang tamu lalu bertanya, "Dari mana kau datang dan apa yang kau lakukan di hutan ini?" Shanzabeh menceritakan apa yang ia alami sampai tiba di hutan itu. Keduanya terlibat percakapan yang hangat. Singa menawarkan kepada Shanzabeh untuk tinggal di istananya. Keduanya sudah sangat akrab. Singa bahkan mengangkat Shanzabeh menjadi penasehat khususnya karena ketajaman pemikiran dan kepandaiannya berbicara. Dalam banyak kasus, singa meminta pendapat dan nasehat dari sapi itu. Keakraban singa dan Shanzabeh apalagi kedudukan pendatang baru itu sebagai penasehat khusus raja, membuat Dimnah tidak senang hati. Lambat laun ia mulai dimakan oleh rasa iri dan kedengkian yang sangat. Dia tidak bisa memprotes keputusan singa tapi dari sisi lain ia tak bisa menerima kenyataan ini. Suatu hari Dimnah yang sudah dibakar kedengkian dan emosi memuncak mendatangi sahabatnya yang bernama Kalilah. Dimnah mengadukan apa yang terjadi dan berkata, "Aku sangat bodoh. Kedudukan sebagai penasehat raja yang semestinya menjadi hakku kuserahkan bulat-bulat kepada Shanzabeh. Andai saja hari itu aku tidak membawanya ke istana atau kusarankan singa untuk membunuhnya." Kalilah berusaha meredakan amarah sahabatnya dan berkata, "Ada apa? Mengapa kau marah-marah seperti ini?" Dimnah menjawab, "Coba banyangkan. Singa yang asalnya ketakutan terhadap Shanzabeh sekarang malah bersahabat dengannya dan itu berkat aku. Sekarang, sapi itu menjadi sahabat terdekat singa. Jika berada dalam posisiku, apakah kau akan senang dan bergembira? Atau kau akan memuji tuhan karena singa menjadikan Shanzabeh sebagai penasehatnya bukan aku? Apalagi singa sekarang tidak lagi peduli denganku." Kalilah menasehatinya untuk bersabar dan menahan emosi. Katanya, "Matamu sudah gelap karena dengki. Apa yang bisa kau lakukan? Tubuh Shanzabeh jauh lebih besar darimu dan dia juga lebih pandai. Sudahlah, jangan berpikir yang macam-macam." Dimnah tetap emosi dan menyahut, "Jangan lihat tubuhku yang kecil. Aku bisa menyingkirkannya. Shanzabeh sangat percaya kepadaku. Kepercayaan itulah yang bisa dimanfaatkan untuk menyingkirkannya." Kalilah terus berusaha menenangkan sahabatnya. "Sudahlah. Tidak ada untungnya. Setiap masalah akan lebih baik jika diselesaikan lewat cara-cara bersahabat, bukan dengan permusuhan." Dimnah dengan nada emosi berkata lagi, "Tidak bisa. Aku sedang marah besar. Jangan berbicara soal persahabatan." Kalilea kecewa mendengar ucapan sahabatnya. Dia hanya bisa pasrah. Dengan suara lirih ia berpesan, "Silakan lakukan apa saja yang kau mau. Tapi ingat, kau hanya akan merugi."(IRIB Indonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar